Rabu, 29 April 2020

AWWALU DINNI MA'RIFATULLAH WA MA'RIFATURRASULULLAH


 

AWWALU DINNI MA'RIFATULLAH >>> DZAT
Hakikat : LA ILAHA ILLALLAH

 WA MA'RIFATURRASULULLAH >>> SIFAT
Syariat : MUHAMMADUR RASULULLAH

TIDAK PISAH - TIDAK JAUH - TIDAK BISA DIPISAH

Kalimah Toyyibah / Ruh Tauhid :
LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH

*MUHAMMADUR > MIM-HA-MIM-DAL >
ATTAHIYAT

*RASULULLAH > RUH SHALAT

" Tidak meninggalkan Syariat dan tidak menghapus Muhammad Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam "

" BUKTI KEBENARAN AL-QUR'AN adalah SHALAT " 


“Awwalu dinni ma’rifatullahi ta’ala” Imam Al-Ghazali
Awalnya Agama harus ma’rifat dulu kepada Allah Ta’ala.

“Wa'bud robbaka hatta ya tikal yaqiinu” Al-Hajr ayat 99

Harus tha’at kalian kepada Allah hingga sampai kepada yakin.

Di sini makna dalil bagaimana artinya? Bagaimana sampainya? mau yakin kepada tha’atnya saja dari baligh sampai kepada kematian baik juga. Katanya ingin sampai kepada yakin, kepada yang di tha’atinya, malah dari dulu juga tidak ada yang ma’rifat, tetapi mengapa sampai ada yang menjadi Wali nyatanya.

Pertama derajat manusia tidaklah sama, kedua, perkara wajib ma’rifat agar supaya kita hidup di dunia punya benteng pertahanan yang kuat untuk menjaga hawa nafsu yang buruk, menjadi punya rasa malu karena siang malam dilihat oleh Allah, sudah terasa, tidak ada jarak, selamanya merasa dilihat.

Itulah faedahnya, makanya manusia wajib ma’rifat buat syarat sahnya amal ibadah sekarang ketika di dunia, supaya yakin ibadahnya, tidak putus sampai mati, yakin kepada yang di ibadahi, tidak akan lupa sampai mati. Dua-duanya dikerjakan amal dengan iman, meskipun di bagian dunia benar shalatnya, tetap saja harus bertemu dulu dengan yang di shalatinya/memberi perintah. 
Tidak mendahulukan shalat/to’at sebelum bertemu, benarnya puji harus bukti dulu kepada yang di pujinya. 
"Jika menerima menjadi hamba harus melihat dulu kepada Tuhan-nya".

“Jika mencari jalan rejeki dengan kuli, harus mencari dulu tuannya, tidak langsung bekerja, pekerjaan memang banyak, banyak tanah untuk di buka, sawah untuk di cangkul dll jika kita langsung saja mencangkul sawah, tidak ada pembicaraan kepada pemiliknya, sudah pasti akan kedatangan yang punya sawah, dari pada ngasih duit yang ada malah di usir, karena merasa sawah akan di hak oleh yang nyangkul, pertama tentunya sebuah kerugian karena sudah mengeluarkan tenaga dengan lelahnya, kedua, tidak adanya hasil, berikut di usir dan di marah”

Bagian Agama wajib beramal ibadah sebelum ma’rifat kepada Allah, sebab perlu belajar dulu supaya bisa, untuk bekal berbakti kepada Allah, hanya saja ibadah jika belum sampai kepada ma’rifatnya, janganlah ujub karena adanya pahala, dapatnya pahala pasti bakal di timbang dengan amal baik dan amal buruknya, jika berat kepada amal baik tentunya Surga (ni’mat) jika berat kepada amal buruk tentu masuk Neraka (ketidakenakan) inilah yang mengerikan jika tidak ma’rifat.

Jika manusia sudah ma’rifat sudah tidak akan ada timbangan lagi, sebab di dunia sudah mampu dan bisa menghisab diri sendiri melalui Tharekat, sudah bisa menimbang hawa nafsunya sendiri, yang di timbang buruk tidak akan di lakukan, yang di timbang baik pasti di kerjakan.

Bagaimana jika manusia tidak tahu kepada jalan ibadah tapi ada kadar ma’rifatnya? apakah jalannya dari Tharekat? Manusia seperti itu lebih beruntung, itu tandanya mendapat taufik (pertolongan) dari Allah, ciri manusia yang di ampuni dosanya, dari mana saja jalannya pasti masuk dulu Tharekat, sebab untuk membuktikan sifat-sifatnya hakikat DZAT, SIFAT, ASMA "barang ghaib" yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala

“Ru’yatullohi Ta’ala fidunya bi’ainil qolbi”
Melihat Dzat, Sifat Allah Ta’ala di dunia oleh awasnya hati/baathin. Itulah keterangannya yang ma’rifat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, tidak dipastikan bahwa harus dari Syariat dan harus bisa ngaji kitab dan Qur’an, di atas disebutkan ahli syariat juga jika ingin mengejar ma’rifat tetap saja harus masuk dulu Tharekat, Allah Maha Kuasa dan wenang, tidak kepada manusia yang bisa baca kitab Qur’an saja memberi taufik itu, buktinya para Wali juga ada yang tidak masuk pesantren, semakin ke sini tidak kurang manusia yang sampai kepada ma’rifat yang bukan dari pesantren dulunya, dan akan mendapat keutamaan jika dari jalur pesantren terus sampai kepada ma’rifatullah, sebab Dalil dan Hadist menjadi saksi.

Ma’rifat adalah untuk syarat sahnya amal ibadah, agar sempurna ibadahnya. Kedua untuk membentengi hawa nafsu buruk, agar sempurna prilaku hidupnya di dunia. Ketiga perkara ma’rifat kepada Allah adalah untuk keselamatan Dunia dengan Akhirat, sebab ; 

SIFATNYA JALAN SELAMAT adalah TERANG 
SIFATNYA JALAN CELAKA adalah GELAP

Walaupun ahli agama, jika tidak ma’rifat kepada Allah Ta’ala, apalagi jika belum mempunyai lampu, sepertinya ingin menubruk orang lain, ibarat mengemudikan mobil malam hari tidak memakai lampu, kejadiannya tentu tabrakan saja dengan temannya yang sama-sama tidak memakai lampu. Tiap-tiap yang sudah ma’rifat tentu merasa bodoh dan tidak akan ujub, riya, takabur, dengki dan tidak akan iri kepada orang lain, amaluna amalukum…

Bagaimana jalannya ma’rifat agar cepat sampainya?
Hal pertama jika ingin ma’rifat, harus mencari rukunnya dulu. Jika tidak ketemu rukunnya maka selamanya tidak akan bisa sampai, semuanya juga memakai rukun, ingin Iman ada Rukunnya yang 6 perkara, ingin Islam ada Rukunnya yang 5 perkara, ingin melakoni Agama ada Rukunnya yang 4 perkara yaitu Syariat, Hakikat, Tharekat dan Ma’rifat, begitu juga jika ingin ma’rifat kepada Allah Ta’ala, harus tahu rukunnya. Rukun ma’rifat ada empat perkara, kata sifat dua puluh yaitu sifat Wahdaniyah. artinya :

SATU DZAT
SATU SIFAT
SATU ASMA
SATU AF’AL
yang empat perkara kumpul ada pada manusia, hanya yang tiga DZAT, SIFAT, ASMA itu barangnya ghaib tapi ada. Makanya manusia diwajibkan harus percaya kepada barang ghoib ;

“Hudan lil muttaqiina”
Manusia muttaqin yaitu manusia yang takut kepada Allah, yang menjalankan segala perintahnya dan yang menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.

“Alladziina yu minuuna bil ghoibi”
Semua manusia yang Iman mentekadkan, membenarkan serta mengakui kepada perkara yang ghoib, disebut Muttaqin karena melakoni kepada perintahnya Allah, dan menjauhi apa-apa yang di cegah/di larang Allah, yang Iman serta mengakui kepada ghoib, harus yakin dulu kepada barang-barangnya, sebab ghoib bukan tidak ada, pasti adanya tapi kelihatannya harus oleh ghoib lagi, yang ghoib di wujud manusia yaitu Dzat - Sifat - Asma - Af'al, jadi dilihatnya juga harus oleh ghoibnya manusia lagi, karena manusia juga ada ghoibnya;

“Wallaahu ghoibun al insaanu ghoibun
Allah ghoib, manusia ghoib. Jadi artinya ghoib itu adalah sifat-sifatnya hakikat ; 

DZAT yaitu hakikatnya ALLAH
SIFAT yaitu hakikatnya MUHAMMAD
ASMA yaitu hakikatnya ADAM

Apabila kita yakin melihat kepada sifat-sifatnya hakikat, sudah pasti bisa sampai kepada ma’rifatullah. 
Sebab harus diingat bahasa “Allah” itu adalah tetap nama, nama sesudah ISBAT artinya sesudah dhohir manusia, dan dhohirnya manusia adalah sesudah bergulungnya  
Dzat - Sifat - Asma - Af’al-Nya Allah. 

Alhasil jika manusia sudah ma’rifat (melihat) kepada sifatnya yang empat perkara, begitulah yang di sebut ma’rifat kepada Allah, sebab itu yang empat jadi lafadz Alif – Lam – Lam - Ha “barang”, disambung menjadi lafadz Allah.

Di sini lafadz belum di ketahui menjadi Allah, tasjidpun belum ada, jadi TASJID adalah kenyataan manusia, sebab ada nama Allah adalah sesudah ada manusia. Jadi itu yang empat huruf dan ke-lima adalah TASJID, bergulungnya menjadi ada Allah ;

“Tidak akan ada AKU jika tidak ada [Allah, ke - lima tasjid] bergulung menjadi ada Muhammad (manusia), tidak akan ada Muhammad jika tidak ada AKU” 

Sekarang bukti pada lafadznya juga, Alif - Lam – Lam – Ha, tidak berpisah dengan Tasjidnya. Jadi jelas sudah bahwa manusia tidak ada jarak dengan Allah :

“Wa nahnu aqrobbu ilaihi min hablil wariid”
Aku lebih dekat kepada kamu, biarpun diibaratkan urat leher, masih dekat Aku dan kamu. 


HAKIKAT DZAT ALLAH
Buku : Syarah Doa Kumail
Karya : Ayatullah Husein Ansariyan

Neisyaburi, dalam kitab rijalnya, berkata, “Kumail adalah sahabat pilihan Amirul Mukminin Ali as, dimana Imam as menempatinya di barisan Imam as ketika dalam perjalanan.” Neisyaburi menambahkan, dalam perjalanan tersebut, Kumail berkata kepada Amirul Mukminin Ali as, “Apa sebenarnya Hakikat Itu?” (Hakikat Dzat Allah), Imam ali as menjawab, “ dimana engkau, dan dimana hakikat Dzat Tuhan itu?”
Lalu, Kumail berkata, “Apakah saya bukan pengikut pilihan dan setia kamu?”, Imam as menjawab, “Iya, wahai Kumail, kamu adalah pengikut setia dan pilihan ku, pada akhirnya, berbagai makrifat yang ada di diri ku akan sampai kepada kamu.”

Mendengar itu, Kumail kembali berkata, “Apakah sosok Mulia seperti engkau akan mengecewakan orang yang bertanya?” Imam ali as berkata, “ Hakikat Dzat Tuhan tidak dapat dipahami melainkan melalui kashaf (pemandangan syuhudi), dan juga tidak dapat dipahami melainkan dengan jalan penyucian, yaitu kita mensucikan Dzat Tuhan dari segala sesuatu yang pernah kita bayangkan dan lihat.” 

Amirul Mukminin Ali as, menambahkan, “ Manusia harus mengetahui bahwa Tuhan bukanlah yang ada dalam angan-angan dan khayalannya. Apa yang ada di dalam angan-angan dan khayalan (imajinasi) seorang manusia, bukanlah Tuhan, akan tetapi itu adalah makhluk-Nya (yang diciptakan-Nya).”

Amirul Mukminin Ali as, melanjutkan bahwa ketika seseorang dapat terbebas dari alam khayal dan angan-angan, dan masuk ke dalam ILMU dan ruangan baathin (Alam baathin) yang murni, dimana di dalamnya sama sekali tak ada angan-agan dan khayal, maka dalam kondisi itu, seseorang dapat melihat hakikat. Karena angan-angan dan khayalan (imajinasi) merupakan penghalang baathin guna menemukan sebuah hakikat.


Shalat adalah untuk mengundang RAHMAT ALLAH
dan Shalat adalah untuk memohon SYAFA'AT RASULULLAH

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam ;
Allah tidak memandang RUPA dan HARTAMU tetapi Allah memandang HATI dan AMALANMU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar